Ini cerita seminggu yang lalu. Pengalaman pertamaku
benar-benar bertatap muka langsung dengan Jakarta. Sebelumnya saat aku membaca
postingan mas ardiwilda dalam blognya, aku hanya membacanya sambil lalu, tidak
benar-benar paham.
tulisan mas ardiwilda bisa dilihat di http://www.ardiwilda.com/2012/06/lima-untuk-tiga.html
tulisan mas ardiwilda bisa dilihat di http://www.ardiwilda.com/2012/06/lima-untuk-tiga.html
Atas dasar mengejar cita-cita, aku merayu mama dan bapak
untuk diizinkan ikut SIMAK UI. Selain soal-soalnya yang terkenal tak mudah,
lokasi tes yang tidak ada di Lampung pun membuat proses-merayu-nya menjadi
lebih sulit. Alhamdulillah, mama yang tak mau seumur hidup mendengar rengekanku
menyesal karena tidak ikut SIMAK UI akhirnya mengizinkan. Seperti lirik lagu
aku bisa AFI junior “setidaknya ku tlah mencoba”.
Untuk masuk UI sendiri pun sebenarnya ada tiga jalur.
Pertama jalur snmptn undangan. Jalur ini berdasarkan akreditas sekolah, nilai
rapor dan prestasi siswa. Alhamdulillah aku hanya diberi kesempatan untuk
mendaftar tapi belum diterima. Jalur kedua yaitu jalur snmptn tertulis. Seperti
namanya, jalur ini berdasarkan nilai ujian tertulis peserta yang diadakan
serempak se-Indonesia pada tanggal 12-13 Juni 2012 lalu. Untuk jalur tertulis
ini, setelah rapat panjang dengan orang tua, akhirnya disepakati win-win solution dimana pilihan pertama
sesuai dengan keinginanku yaitu Ilmu Psikologi UI, ditambah izin mengikuti
SIMAK UI dan pilihan kedua yang sesuai keinginan orang tuaku yang sangat
berharap anak bungsunya untuk kuliah disini saja, tidak jauh-jauh dari
orangtuanya yaitu Ilmu Komunikasi UNILA. Dan ternyata inilah yang kata banyak
orang bilang ‘doa orang tua adalah segalanya’. Setelah maju satu hari dari
rencana awal, pada tanggal 6 Juli 2012 pengumuman pun akhirnya tiba, aku lulus
snmptn tertulis pada prodi pilihan kedua yaitu Ilmu Komunikasi UNILA. Tanpa
benar-benar tau bagaimana perasaanku, akhirnya aku bersyukur juga, terlebih
saat kutau banyak juga teman-temanku yang belum mendapatkan rejekinya.
Walaupun banyak mengalami perubahan, rencana berangkat ke
Jakarta malam itu tetap aku lakukan. Dengan rencana dadakan yang sudah disusun
ulang akhirnya aku ditemani kakakku berangkat juga ke Jakarta. Sekitar jam 12
malam aku berangkat dari rumah. Perasaanku malam itu sungguh-sungguh campur
aduk, antara kecewa sampai ingin menangis karena belum berhasil masuk UI tapi
tak jadi menangis karena takut disangka tak bersyukur padahal sudah diterima di
UNILA, geregetan karena tak bisa ikut Akberkelas03 yang sudah aku
tunggu-tunggu, sampai sangat excited
karena ini pertama kalinya aku ke Jakarta dengan tanpa mobil pribadi alias ngeteng.
Sepanjang perjalanan beberapa kali kakakku menawariku untuk
buang air kecil, tapi aku sungguh-sungguh tak minat. Aku sangat pemilih dalam
ritual buang-buang. Tak ada jaminan toiletnya bersih membuatku tak bernafsu
untuk buang air.
Bagian seru pertama dari perjalananku adalah saat kami harus
naik Kopaja dari terminal yang--ah aku lupa namanya--ke rumah Budeku di daerah
Ragunan. Walaupun sering mendengar keeksentrikan kopaja, tapi baru kali ini aku
menaikinya dan aku benar-benar ‘terpesona’, maksudku ibukota negara mana lagi
coba yang angkutan umumnya seperti ini?
Sampai dirumah Budeku, kami beristirahat sejenak untuk
kemudian sorenya mengecek lokasi tesku. Lokasi tesku bertempat di SMKN 29
Jakarta Selatan atau yang lebih dikenal dengan STM penerbangan. Hanya perlu
sekali naik metromini dari rumah Budeku untuk sampai disana.
Hari H akhirnya tiba, Minggu tanggal 8 Juli 2012, aku
bersama peserta lain mengikuti SIMAK UI di lokasi tes kami masing-masing. Tes
dimulai jam 10 pagi, tapi aku sudah sampai di SMK 29 sejak pukul 8 pagi.
Membunuh waktu, aku berjalan-jalan di seantero SMK 29. Melihat-lihat dan secara
naluriah mulai membanding-bandingkannya dengan sekolahku, SMAN 2 Bandar
Lampung. Sudah barang tentu ada hal-hal yang hanya ada disini tapi tak ada
disana dan sebaliknya. Setelah puas jalan-jalan, aku akhirnya berlabuh di
mushola untuk sholat Dhuha, lumayan untuk menghilangkan nervous. Waktu ujian akhirnya datang juga, aku memasuki ruangan dan
mulai menghitamkan lingkaran-lingkaran LJK yang harus aku hitamkan sesuai
dengan data diri dan jawabanku atas soal-soal yang ada. Sama seperti tes-tes
lainnya, tak banyak lagi yang kuingat pasca tes, sesuai dengan tweet info snmptn pada saat snmptn tertulis “datang, kerjakan, dan lupakan”.
Baru setelah ujian selesailah aku baru mulai merasa cemas
dan gelisah. Itu semua tak lain karena aku ditantang untuk pulang sendiri ke
rumah Budeku dengan naik metromini sendirian. Selama menunggu di halte, aku
yang memang bodoh dalam mengingat berkali-kali merapal 75, 75, 75, nomor
metromini yang harus aku naiki. Aku semakin parno saat lupa dengan pesan
kakakku sebelumnya, “ah pasar apa ya? Pasar mangga apa pasar minggu ya? Tapi
tadi dia bilang ada mangganya juga”. Aku semakin tak bisa duduk tenang saat aku
tak kunjung ingat dan metromini 75ku pun tak kunjung datang. Sebenarnya bisa
saja si kalau aku mau menelpon keluargaku untuk bertanya, tapi aku enggan. “masa
payah banget, pulang sendiri aja ga bisa” begitu ucapku dalam hati. Aku lega
saat akhirnya metromini dengan kaca ditempeli angka 75 dan bacaan P. Minggu
singkatan dari Pasar Minggu datang “oooh akhirnya aku ingat, arah Pasar Minggu
turun di mangga besar”. Cepat-cepat bersama penumpang lain aku berebut masuk.
Selama di metromini inilah aku baru benar-benar menyadari
dan merasakan apa dan bagaimana Jakarta itu sebenarnya. Mungkin faktor
sendirianlah yang tidak memberiku pilihan lain selain memperhatikan sekitarku. Seketika
aku merindukan Bus Trans Bandar Lampung yang sering kunaiki sepaket dengan
kenyamanan dan keramahan awak bus dan penumpangnya. Di kopaja ini, hanya
perasaan ingin cepat-cepat turun yang kutemui. Sepanjang perjalanan, tak pernah
kutemui orang--baik didalam kopaja maupun diluar kopaja--yang melakukan
aktivitasnya tanpa berkerut kening. Deru mesin, umpel-umpelan penumpang dan
bunyi klakson semakin menambah garang kota ini. Sekelebat spanduk-spanduk cagub
dan cawagub diseantero jalan membuatku berfikir “kira-kira apa sebenarnya yang
bisa mereka lakukan untuk Jakarta yang sudah sedemikian rupa ini?”. Akhirnya
walau hanya bermodalkan ingatan yang seadanya, syukurlah aku sampai di rumah
Budeku dengan selamat.
next time dicatet naek apanya biar ga bingung gitu yah
BalasHapus^_^