Dia mengambil buku pelajaran dan duduk di teras. Halaman
demi halaman berlalu bersama beberapa orang yang lewat sambil memandanginya. Ya
disini di tempat tinggalnya, seseorang yang belajar dan membaca buku bukanlah
pemandangan yang biasa. Bahagia melihat putra-putrinya memakai toga bukanlah
kebahagiaan yang sering terjadi di tempat ini.
Sebenarnya ia juga tak nyaman belajar dengan dipicingi
mata-mata orang yang lalu lalang, tapi apa boleh buat. Rumahnya bukanlah rumah
gedong yang nyaman untuk belajar. Rumahnya hanyalah sebuah bangunan dari
papan-papan yang saling melengkapi berpadu dengan seng sebagai atapnya
menjadikannya pengap bila berada di dalam rumah. Itulah alasan mengapa ia lebih
suka belajar di teras dengan angin laut yang sesekali datang membelai kulit
tropisnya. Sebenarnya ia bukan termasuk anak yang rajin belajar, akan tetapi ia
terlalu mencintai orang tuanya hingga tak mau mengecewakan mereka.
Penat, ia tutup bukunya dan mengedarkan pandang ke
sekeliling. Di rumah sebelah rumahnya, ia melihat Arif kecil yang baru saja
keluar rumah dengan muka ngantuk khas tidur siang. Mereka tidak tinggal di perumahan dengan
halaman-halaman lebar dengan pagar-pagar pencakar langit. Disini tiap orang
bisa saling melihat kesedihan dan kebahagiaan dari masing-masing rumah. Bagi
mereka tak ada yang perlu dibatasi. Mereka membebaskan realita menggiring
takdir mereka.
Tak lama Pak de Darno ikut keluar untuk memastikan cucunya
(Arif) ada di teras. Disusul kepulangan Bu de Tri dari bekerja.
“aih dede kok udah bangun?” ucap Bu de Tri
“iya wong mati lampu. Kepanasan de e kipase mati.” Pak de Darno
menjelaskan
“ooo kasian, yuk kita masuk. Mbah bawa ini nih” seraya
menggoyang-goyangkan kantong plastik di tangan kanannya.
Kemudian mereka masuk ke dalam rumah, meninggalkannya
sendiri bersama lamunan. Ia teringat dengan puisi-puisi bahagia itu sederhana
yang akhir-akhir ini sering digembar-gemborkan di twitter. Yang barusan itu
contoh nyata dari bahagia itu sederhana. Ia juga teringat dan setuju dengan
pendapat Pramoedya Ananta Tur bahwa hidup
lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Bu de Tri sudah sejak bertahun-tahun yang lalu berangkat
pagi pulang sore untuk membantu memanggang kemplang di dalah satu rumah
produksi kemplang yang ada di daerah itu. Suaminya Pak de Darno hanyalah
seorang penyervis elektronik yang bekerja kalau ada orang yang datang ke rumah
dengan membawa TV atau radio untuk diperbaiki. Anak-anak mereka sudah besar dan
sudah mengaruniai mereka cucu. Bagi mereka kabahagiaan itu adalah saat melihat
cucu-cucu mereka duduk manis bersama-sama memakan kemplang.
Ia menyudahi acara belajarnya dan memutuskan untuk mandi
sore. Di belakang ia melihat ibunya sedang bersama Pak de Sutris mengobrolkan
pohon cabai ayahnya yang tumbuh subur di pekarangan belakang. Dari kamar
mandinya, ia masih bisa mendengar obrolan mereka.
“iyo iki seng ragil arep masuk kuliah, mba’yu ne arep wisuda
eh malah bapak e malah wis ra kerjo” ucap ibunya bercerita.
“iyo podo-podo. Sa iki sekolah susah, larang tenan.”
Sambil mandi pikirannya ikut melayang bersama obrolan ibu
dan pak de Sutris.
“tadi Adel neng omah” lanjut pak de Sutris menceritakan Adel,
cucunya.
“mbah, mbah kakung minta duit si mau jajan” menirukan suara
Adel
“aku ngelus dodo ora eneng duit, terus inget nduwe paku-paku
siso ngebangun tak jual neng nggone rongsokan, lumayan kanggo jajane Adel.”
Mandinya selesai. Ia tinggalkan ibunya, Pak de Sutris dan
obrolan mereka. Selesai sholat Ashar ia menyapu rumah. Seperti biasa sambil
menyapu ia menyetel musik dari mp3 handphonenya. Sambil menyapu ia meresapi
lagu we found lovenya Rihanna, dalam hati ia sangat setuju. We found a love in a hopeless place.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar