Senin, 16 Juli 2012

ke Jakarta


Ini cerita seminggu yang lalu. Pengalaman pertamaku benar-benar bertatap muka langsung dengan Jakarta. Sebelumnya saat aku membaca postingan mas ardiwilda dalam blognya, aku hanya membacanya sambil lalu, tidak benar-benar paham.
tulisan mas ardiwilda bisa dilihat di http://www.ardiwilda.com/2012/06/lima-untuk-tiga.html

Atas dasar mengejar cita-cita, aku merayu mama dan bapak untuk diizinkan ikut SIMAK UI. Selain soal-soalnya yang terkenal tak mudah, lokasi tes yang tidak ada di Lampung pun membuat proses-merayu-nya menjadi lebih sulit. Alhamdulillah, mama yang tak mau seumur hidup mendengar rengekanku menyesal karena tidak ikut SIMAK UI akhirnya mengizinkan. Seperti lirik lagu aku bisa AFI junior “setidaknya ku tlah mencoba”.

Untuk masuk UI sendiri pun sebenarnya ada tiga jalur. Pertama jalur snmptn undangan. Jalur ini berdasarkan akreditas sekolah, nilai rapor dan prestasi siswa. Alhamdulillah aku hanya diberi kesempatan untuk mendaftar tapi belum diterima. Jalur kedua yaitu jalur snmptn tertulis. Seperti namanya, jalur ini berdasarkan nilai ujian tertulis peserta yang diadakan serempak se-Indonesia pada tanggal 12-13 Juni 2012 lalu. Untuk jalur tertulis ini, setelah rapat panjang dengan orang tua, akhirnya disepakati win-win solution dimana pilihan pertama sesuai dengan keinginanku yaitu Ilmu Psikologi UI, ditambah izin mengikuti SIMAK UI dan pilihan kedua yang sesuai keinginan orang tuaku yang sangat berharap anak bungsunya untuk kuliah disini saja, tidak jauh-jauh dari orangtuanya yaitu Ilmu Komunikasi UNILA. Dan ternyata inilah yang kata banyak orang bilang ‘doa orang tua adalah segalanya’. Setelah maju satu hari dari rencana awal, pada tanggal 6 Juli 2012 pengumuman pun akhirnya tiba, aku lulus snmptn tertulis pada prodi pilihan kedua yaitu Ilmu Komunikasi UNILA. Tanpa benar-benar tau bagaimana perasaanku, akhirnya aku bersyukur juga, terlebih saat kutau banyak juga teman-temanku yang belum mendapatkan rejekinya.

Walaupun banyak mengalami perubahan, rencana berangkat ke Jakarta malam itu tetap aku lakukan. Dengan rencana dadakan yang sudah disusun ulang akhirnya aku ditemani kakakku berangkat juga ke Jakarta. Sekitar jam 12 malam aku berangkat dari rumah. Perasaanku malam itu sungguh-sungguh campur aduk, antara kecewa sampai ingin menangis karena belum berhasil masuk UI tapi tak jadi menangis karena takut disangka tak bersyukur padahal sudah diterima di UNILA, geregetan karena tak bisa ikut Akberkelas03 yang sudah aku tunggu-tunggu, sampai sangat excited karena ini pertama kalinya aku ke Jakarta dengan tanpa mobil pribadi alias ngeteng.

Sepanjang perjalanan beberapa kali kakakku menawariku untuk buang air kecil, tapi aku sungguh-sungguh tak minat. Aku sangat pemilih dalam ritual buang-buang. Tak ada jaminan toiletnya bersih membuatku tak bernafsu untuk buang air.

Bagian seru pertama dari perjalananku adalah saat kami harus naik Kopaja dari terminal yang--ah aku lupa namanya--ke rumah Budeku di daerah Ragunan. Walaupun sering mendengar keeksentrikan kopaja, tapi baru kali ini aku menaikinya dan aku benar-benar ‘terpesona’, maksudku ibukota negara mana lagi coba yang angkutan umumnya seperti ini?

Sampai dirumah Budeku, kami beristirahat sejenak untuk kemudian sorenya mengecek lokasi tesku. Lokasi tesku bertempat di SMKN 29 Jakarta Selatan atau yang lebih dikenal dengan STM penerbangan. Hanya perlu sekali naik metromini dari rumah Budeku untuk sampai disana.

Hari H akhirnya tiba, Minggu tanggal 8 Juli 2012, aku bersama peserta lain mengikuti SIMAK UI di lokasi tes kami masing-masing. Tes dimulai jam 10 pagi, tapi aku sudah sampai di SMK 29 sejak pukul 8 pagi. Membunuh waktu, aku berjalan-jalan di seantero SMK 29. Melihat-lihat dan secara naluriah mulai membanding-bandingkannya dengan sekolahku, SMAN 2 Bandar Lampung. Sudah barang tentu ada hal-hal yang hanya ada disini tapi tak ada disana dan sebaliknya. Setelah puas jalan-jalan, aku akhirnya berlabuh di mushola untuk sholat Dhuha, lumayan untuk menghilangkan nervous. Waktu ujian akhirnya datang juga, aku memasuki ruangan dan mulai menghitamkan lingkaran-lingkaran LJK yang harus aku hitamkan sesuai dengan data diri dan jawabanku atas soal-soal yang ada. Sama seperti tes-tes lainnya, tak banyak lagi yang kuingat pasca tes, sesuai dengan tweet info snmptn pada saat snmptn tertulis “datang, kerjakan, dan lupakan”.

Baru setelah ujian selesailah aku baru mulai merasa cemas dan gelisah. Itu semua tak lain karena aku ditantang untuk pulang sendiri ke rumah Budeku dengan naik metromini sendirian. Selama menunggu di halte, aku yang memang bodoh dalam mengingat berkali-kali merapal 75, 75, 75, nomor metromini yang harus aku naiki. Aku semakin parno saat lupa dengan pesan kakakku sebelumnya, “ah pasar apa ya? Pasar mangga apa pasar minggu ya? Tapi tadi dia bilang ada mangganya juga”. Aku semakin tak bisa duduk tenang saat aku tak kunjung ingat dan metromini 75ku pun tak kunjung datang. Sebenarnya bisa saja si kalau aku mau menelpon keluargaku untuk bertanya, tapi aku enggan. “masa payah banget, pulang sendiri aja ga bisa” begitu ucapku dalam hati. Aku lega saat akhirnya metromini dengan kaca ditempeli angka 75 dan bacaan P. Minggu singkatan dari Pasar Minggu datang “oooh akhirnya aku ingat, arah Pasar Minggu turun di mangga besar”. Cepat-cepat bersama penumpang lain aku berebut masuk.

Selama di metromini inilah aku baru benar-benar menyadari dan merasakan apa dan bagaimana Jakarta itu sebenarnya. Mungkin faktor sendirianlah yang tidak memberiku pilihan lain selain memperhatikan sekitarku. Seketika aku merindukan Bus Trans Bandar Lampung yang sering kunaiki sepaket dengan kenyamanan dan keramahan awak bus dan penumpangnya. Di kopaja ini, hanya perasaan ingin cepat-cepat turun yang kutemui. Sepanjang perjalanan, tak pernah kutemui orang--baik didalam kopaja maupun diluar kopaja--yang melakukan aktivitasnya tanpa berkerut kening. Deru mesin, umpel-umpelan penumpang dan bunyi klakson semakin menambah garang kota ini. Sekelebat spanduk-spanduk cagub dan cawagub diseantero jalan membuatku berfikir “kira-kira apa sebenarnya yang bisa mereka lakukan untuk Jakarta yang sudah sedemikian rupa ini?”. Akhirnya walau hanya bermodalkan ingatan yang seadanya, syukurlah aku sampai di rumah Budeku dengan selamat.

1 komentar:

  1. next time dicatet naek apanya biar ga bingung gitu yah
    ^_^

    BalasHapus