Jumat, 18 Mei 2012

We found a love in a hopeless place


Dia mengambil buku pelajaran dan duduk di teras. Halaman demi halaman berlalu bersama beberapa orang yang lewat sambil memandanginya. Ya disini di tempat tinggalnya, seseorang yang belajar dan membaca buku bukanlah pemandangan yang biasa. Bahagia melihat putra-putrinya memakai toga bukanlah kebahagiaan yang sering terjadi di tempat ini.

Sebenarnya ia juga tak nyaman belajar dengan dipicingi mata-mata orang yang lalu lalang, tapi apa boleh buat. Rumahnya bukanlah rumah gedong yang nyaman untuk belajar. Rumahnya hanyalah sebuah bangunan dari papan-papan yang saling melengkapi berpadu dengan seng sebagai atapnya menjadikannya pengap bila berada di dalam rumah. Itulah alasan mengapa ia lebih suka belajar di teras dengan angin laut yang sesekali datang membelai kulit tropisnya. Sebenarnya ia bukan termasuk anak yang rajin belajar, akan tetapi ia terlalu mencintai orang tuanya hingga tak mau mengecewakan mereka.

Penat, ia tutup bukunya dan mengedarkan pandang ke sekeliling. Di rumah sebelah rumahnya, ia melihat Arif kecil yang baru saja keluar rumah dengan muka ngantuk khas tidur siang.  Mereka tidak tinggal di perumahan dengan halaman-halaman lebar dengan pagar-pagar pencakar langit. Disini tiap orang bisa saling melihat kesedihan dan kebahagiaan dari masing-masing rumah. Bagi mereka tak ada yang perlu dibatasi. Mereka membebaskan realita menggiring takdir mereka.

Tak lama Pak de Darno ikut keluar untuk memastikan cucunya (Arif) ada di teras. Disusul kepulangan Bu de Tri dari bekerja.
“aih dede kok udah bangun?” ucap Bu de Tri
“iya wong mati lampu. Kepanasan de e kipase mati.” Pak de Darno menjelaskan
“ooo kasian, yuk kita masuk. Mbah bawa ini nih” seraya menggoyang-goyangkan kantong plastik di tangan kanannya.

Kemudian mereka masuk ke dalam rumah, meninggalkannya sendiri bersama lamunan. Ia teringat dengan puisi-puisi bahagia itu sederhana yang akhir-akhir ini sering digembar-gemborkan di twitter. Yang barusan itu contoh nyata dari bahagia itu sederhana. Ia juga teringat dan setuju dengan pendapat Pramoedya Ananta Tur bahwa hidup lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Bu de Tri sudah sejak bertahun-tahun yang lalu berangkat pagi pulang sore untuk membantu memanggang kemplang di dalah satu rumah produksi kemplang yang ada di daerah itu. Suaminya Pak de Darno hanyalah seorang penyervis elektronik yang bekerja kalau ada orang yang datang ke rumah dengan membawa TV atau radio untuk diperbaiki. Anak-anak mereka sudah besar dan sudah mengaruniai mereka cucu. Bagi mereka kabahagiaan itu adalah saat melihat cucu-cucu mereka duduk manis bersama-sama memakan kemplang.

Ia menyudahi acara belajarnya dan memutuskan untuk mandi sore. Di belakang ia melihat ibunya sedang bersama Pak de Sutris mengobrolkan pohon cabai ayahnya yang tumbuh subur di pekarangan belakang. Dari kamar mandinya, ia masih bisa mendengar obrolan mereka.

“iyo iki seng ragil arep masuk kuliah, mba’yu ne arep wisuda eh malah bapak e malah wis ra kerjo” ucap ibunya bercerita.
“iyo podo-podo. Sa iki sekolah susah, larang tenan.”

Sambil mandi pikirannya ikut melayang bersama obrolan ibu dan pak de Sutris.

“tadi Adel neng omah” lanjut pak de Sutris menceritakan Adel, cucunya.
“mbah, mbah kakung minta duit si mau jajan” menirukan suara Adel
“aku ngelus dodo ora eneng duit, terus inget nduwe paku-paku siso ngebangun tak jual neng nggone rongsokan, lumayan kanggo jajane Adel.”

Mandinya selesai. Ia tinggalkan ibunya, Pak de Sutris dan obrolan mereka. Selesai sholat Ashar ia menyapu rumah. Seperti biasa sambil menyapu ia menyetel musik dari mp3 handphonenya. Sambil menyapu ia meresapi lagu we found lovenya Rihanna, dalam hati ia sangat setuju. We found a love in a hopeless place.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar